Mereka yang Tidak Menyerah dengan Tohoku, Tempat Yang Dilanda Gempa Besar 11 Maret 2011

Tulisan Oleh: Luthfan Anshar Lubis

Jepang, layaknya tanah air kita, rentan terhadap bencana alam. Di musim panas setiap tahun misalnya, negeri matahari terbit ini dihempas badai, bukan hanya satu badai, tetapi jamak. Syukurnya berkat kesiapan yang baik, sekalipun sesekali terdapat korban dan kerugian, masyarakat mendayung perahu di tengah kota kediamannya sendiri seraya menyelamatkan barang-barang kepemilikannya bukanlah pemandangan rutin.


Lokasi geografis Jepang yang berada tepat di perbatasan beberapa lempeng bumi juga mengartikan bahwa tanah ini adalah saksi dari begitu banyak gempa bumi, baik kecil maupun besar. Sekali lagi, berkat berbagai peraturan dan standar yang dijaga dengan baik, gempa biasanya tidak menghasilkan kerusakan yang besar. Sayangnya sesekali gempa datang bertamu dengan sebuah iringan, ombak besar dari laut yang jauh lebih destruktif dari gempa itu sendiri.

Gempa dan Tsunami Besar Yang Melanda daerah Tohoku

Pada tanggal 11 Maret 2011, gempa yang sekarang tercatat sebagai terbesar keempat sepanjang sejarah dunia, terjadi berpusat di laut di timur daerah Tohoku, Jepang. Tanpa waktu peringatan yang cukup, sebuah tsunami yang tingginya mencapai puluhan meter di beberapa titik, kemudian menerjang pesisir Tohoku. Dinding laut yang terpasang di beberapa kota di Tohoku dengan mudah dilampaui ombak tsunami yang datang, dan sekejap saja daerah ini diluluhlantakkan kekuatan alam.

Puluhan ribu nyawa hilang, ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggalnya.

Maret lalu, FUN! JAPAN diberikan kesempatan berharga untuk mengunjungi Tohoku sepuluh tahun setelah bencana itu terjadi. Di sana kami bertemu dengan sosok-sosok luar biasa yang berusaha membangun lagi tanah airnya.

Kisah seorang manager hotel ryoukan Houraikan di saat kejadian gempa

Foto: Ibu Iwasaki- Manager hotel ryoukan Houraikan

Ibu Iwasaki adalah seorang penduduk asli Kamaishi-shi, sebuah kota di pesisir Prefektur Iwate. Keluarganya adalah pengelola sebuah ryoukan, hotel tradisional Jepang, bernama Houraikan, yang sekarang sudah turun menjadi tanggung jawab beliau. Di hadapan hotel ini adalah sehampar pantai bernama Nebama yang dibarisi pohon-pohon pinus.

Perihal bencana alam sepuluh tahun yang lalu, beliau bercerita tentang pengalamannya sendiri berselisih dengan ombak tsunami. Ibu Iwasaki memutar sebuah video di mana bisa dilihat beliau berteriak kepada orang-orang untuk evakuasi secepatnya, tidak jauh di belakang beliau, ombak tsunami sudah bisa terlihat perlahan-lahan mengejar. Dengan nada menghibur beliau mengatakan, "Tenang, saya selamat kok, ini saya sekarang ada di sini."

Sekalipun hotelnya adalah sebuah bisnis, terjadinya bencana alam berarti beliau harus mencari cara untuk menggunakan kepunyaannya untuk menolong orang-orang yang bisa beliau tolong. Ibu Iwasaki bisa disebut adalah salah satu tonggak komunitasnya. Hotel berlantai empatnya diubah menjadi tempat evakuasi setelah tsunami menerjang. Bukannya bercerita tentang apa yang telah dikerjakannya, dengan penuh semangat beliau justru bercerita tentang bagaimana masyarakat sekitar saling membantu di masa-masa itu, sedangkan kerja kerasnya sendiri tidak mau beliau terlalu pedulikan.

Bukan hanya itu, tsunami juga merenggut mata pencaharian banyak orang. Untuk itu, Ibu Iwasaki berinovasi mencari cara memberikan jalan penghasilan untuk wanita-wanita lokal. Dengan bangganya beliau bercerita bagaimana dengan menjual gelang yang dibuat dari jaring-jaring ikan yang terbawa ombak, ibu-ibu sekitar berhasil menambah penghasilan mereka dalam kondisi yang sulit tersebut.

Ibu Iwasaki mengutarakan kecintaannya pada tempat beliau dilahirkan. Sampai saat ini, beliau tidak hidup karena diri sendiri tetapi berkat orang-orang yang berada di tempat itu, saling berbagi dan membantu.

Harapan seorang pemandu lokal Tohoku, yang menolong masyarakat sekitar lewat bercerita

Foto: Ibu Motonoda – pemandu

Di beberapa daerah, di antaranya kampung kecil Tarou-ku dan kota Yamada-cho di Prefektur Iwate, penduduk setempat memberikan jasa pemandu untuk pengunjung dari luar, khususnya memandu mengenai kejadian gempa bumi dan tsunami satu dekade yang lalu.

Salah satunya adalah Ibu Motonoda, seorang penduduk Tarou-ku. Kampung kecil ini tersemat di sebuah teluk di pesisir timur Prefektur Iwate. Penduduk sekitar sejak dulu memperoleh pencaharian dari laut, seperti menangkap uni, awabi, dan konbu. Beliau membawa kami keliling, menunjukkan dinding laut lama yang kalah dengan tinggi tsunami, hingga pembangunan dinding laut baru yang masih berlanjut. Dinding baru yang tingginya belasan meter itu harapannya bisa memberikan waktu yang cukup bagi penduduk untuk berevakuasi apabila sebuah tsunami terjadi lagi.

Menjawab pertanyaan tentang mengapa masih setia tinggal di tempat yang rentan bencana bahaya ini, beliau punya jawaban yang begitu jujur dan sederhana. Di atas tanah itu dilahirkan, di atas tanah itu juga tumbuh besar, berkat tanah itu juga mereka bisa selama ini punya penghidupan yang layak.

Lewat tur yang mereka adakan ini, pertama Ibu Motonoda berharap kegiatan ini bisa memberikan sedikit tambahan penghasilan. Kedua, yang jauh lebih penting, adalah menjaga cerita bencana yang lalu agar tetap hidup. Agar orang-orang tidak menjadi lalai, agar orang-orang tetap terus mengingat pentingnya persiapan agar tidak terjadi lagi hal yang sama. Beliau menyampaikan harapannya agar bencana yang menimpa Tarou-ku bisa menjadi pelajaran juga bukan hanya untuk Tohoku tetapi seluruh orang yang mengunjungi lalu mendengar cerita. Ketiga adalah menunjukkan perubahan dan semangat yang dimiliki masyarakat setempat untuk bangkit dan maju kembali.

Kembali ke tanah asal demi membantu membangun kembali daerahnya

Kerusakan dan korban dari bencana alam ini memang hampir seluruhnya terfokus pada ketiga prefektur di Tohoku, yakni Prefektur Iwate, Miyagi, dan Fukushima. Namun demikian, semangat untuk menolong dan membantu daerah ini tidak terbatas oleh kampung halaman. Tidak sedikit sosok-sosok yang kami temui selama perjalanan adalah mereka yang awalnya tiba di Tohoku sebagai suka relawan yang hendak menuangkan tenaganya untuk membantu orang-orang sebisa mereka, lalu akhirnya memutuskan untuk menetap di daerah ini karena keinginan mereka untuk terus membantu masyarakat Tohoku.

Salah satu di antaranya adalah Bapak Komatsu. Awalnya punya pekerjaan empuk di Tokyo, namun usai membantu sebagai suka relawan di kota kecil Onagawa-cho di Prefektur Miyagi, beliau justru terdorong untuk terus menetap ketika diajak orang-orang setempat untuk membantu menata ulang kota mereka yang tujuh puluh persen bangunannya hancur akibat tsunami.

Sekarang Bapak Komatsu adalah seorang penduduk tetap di Onagawa-cho, lengkap dengan organisasi non-profitnya sendiri, Asu He No Kibou. Jika penduduk di kota lain berusaha kembali membangun daerah masing-masing dengan mengembalikan apa yang dulu sudah ada di kotanya masing-masing, Bapak Komatsu mencoba menggunakan organisasinya untuk mencari dan memecahkan masalah sosial yang ada di Onagawa-cho. Masalah yang mereka hadapi sekarang bukan lagi bagaimana memperbaiki kerusakan dari tsunami yang lalu, tapi adalah bagaimana memajukan kota kecil mereka agar menjadi tempat tinggal yang lebih baik lagi daripada sebelum terjadinya bencana sepuluh tahun yang lalu.

Mendongrak ekonomi daerah lokal dengan membuka toko sabun di Onagawa-cho

Seorang sosok lain yang punya usaha di kota ini adalah Bapak Katsuyoshi. Awal mulanya beliau tiba di Prefektur Miyagi bersama seorang teman untuk membantu sewaktu pasca gempa bumi dan tsunami. Namun setelah itu, karena keinginannya untuk lebih banyak membantu orang-orang lokal, salah satu kegiatan beliau adalah mendirikan sebuah toko sabun di Onagawa-cho.

Di awal terdengar aneh membuka toko menjadi sebuah bentuk dukungan terhadap daerah lokal, namun ternyata ada sebuah fokus yang penting bagi Bapak Katsuyoshi dalam mendirikan usaha di kota kecil ini. Pertama, bahan yang dipergunakan harus semuanya berasal dari Miyagi. Kedua, seluruh produk tokonya harus dibuat tangan oleh pekerja setempat.

Ketika ditanya tentang rencana pengembangan tokonya untuk ke depannya, beliau mengutarakan bagaimana mereka tidak ingin memproduksi terlalu banyak, karena khawatir jika jumlah produksinya terlalu tinggi maka akan terpaksa menggunakan mesin. Dalam kata lain, usaha ini dijalankan dalam skala yang hanya menguntungkan untuk orang-orang yang dipekerjakan di dalamnya. Bukan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya bagi pemilik usaha, tetapi kebaikan yang sebesar-besarnya untuk kota dan daerah berdirinya usaha tersebut.

Orang-orang yang, karena ketiadaan kata yang lebih tepat, bertransmigrasi ke Tohoku, tidak datang ke tempat yang lebih sunyi ini untuk mendapatkan mata pencaharian yang lebih baik. Mereka tidak datang juga untuk menjadi pahlawan yang dikenal di seluruh Jepang. Tujuan mereka sederhana, membantu orang-orang lokal dengan kemampuan yang mereka miliki.

Mencegah bencana alam dengan mendidik generasi muda

Berita gempa bumi dan tsunami sepuluh tahun lalu juga diiringi sebuah masalah lain yang dampaknya tidak terkurung di daerah Tohoku, yaitu meledaknya reaktor di pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima. Air yang teradiasi tumpah ke daerah sekitar. Tanah sekitar pembangkit listrik tercemar dan tidak dapat ditinggali, pertanian dan perikanan Fukushima terganggu. Buruknya keadaan ini ditandai dengan masih tidak bisa ditinggalinya dua kota kecil yang berselisihan dengan PLTN ini, serta masih dibutuhkannya beberapa dekade sampai selesainya penutupan tempat tersebut.

Bapak Yoshikawa, dulunya bekerja di TEPCO, perusahaan yang mengelola PLTN Fukushima. Usai bencana tersebut, beliau membanting setir dengan beraktivitas dalam sebuah organisasi non-profit AFW. Beliau percaya bahwa kejadian yang terjadi di Fukushima ini adalah sesuatu yang sekalipun buruk, juga bisa menjadi pelajaran berharga untuk siapapun. Salah satu kegiatan beliau sekarang adalah mengadakan kuliah untuk murid-murid sekolah tentang kejadian PLTN Fukushima dan mengajak murid-murid untuk lebih memikirkan tentang masalah-masalah seperti ini.

Tokoh-tokoh yang kami ceritakan di sini hanya sebagian kecil dari begitu banyak orang Tohoku yang terus berjuang keras untuk membangun kembali tempat tinggal mereka dengan caranya masing-masing. Sebuah pelajaran penting yang berkali-kali saya dengar selama perjalanan ini adalah bagaimana apapun yang dilakukan, prioritas nomor satunya adalah bagaimana tindakan itu bisa membantu orang-orang di sekitarnya, bukan sebesar-besarnya keuntungan untuk diri mereka pribadi.

Bapak Yoshikawa membuka percakapannya dengan pertanyaan yang sederhana. Ketika dulu PLTN itu dibangun, apakah kondisi sekarang yang dulu diimpikan akan terjadi?

Sebagai seseorang yang dulunya bekerja di tempat terjadinya masalah ini, Bapak Yoshikawa menyadari bahwa masalah polutan nuklir ini bukanlah sebuah isu menunjuk jari untuk menyalahkan seseorang. Insiden ini sudah terjadi, yang menanggung akibatnya adalah semua orang. Untuk itu yang terutama adalah bersama mencari solusi serta bersama memikirkan masa depan yang ingin dibangun untuk mereka yang akan menjalaninya.

Artikel Terkait:

Daftar Isi

Survey[Survei] Liburan ke Jepang







Recommend