FUN! JAPAN PR

Wajah-wajah dari Tanah Iwate

Keluar dari pintu gerbong shinkansen Hayabusa di Morioka, yang pertama kali menyapa para pengunjung dari arah Tokyo adalah perbedaan temperatur. Tokyo yang perlahan sudah menyambut masuknya musim semi dengan temperatur belasan derajat di siang hari, berbeda kontras dengan Morioka di Prefektur Iwate yang temperaturnya masih satu digit.

Mengunjungi dinding laut di Taro, Miyako-shi

Ibu Motonada, pemandu tur di kota Taro, Iwate

Sekitar pukul dua belas, bus kami berhenti di daerah pertokoan di tengah kampung kecil bernama Taro. Bangunan-bangunan di sekitar semuanya terlihat bersih, masih baru, jumlahnya masih bisa dihitung jari karena memang tempat kami berdiri saat itu sepuluh tahun lalu bersih tersapu ombak besar dari laut. Di kejauhan, suara anak-anak tengah bermain baseball terdengar jelas. Lebih jauh lagi ke arah laut, berbagai alat konstruksi berbaris mengerjakan sebuah pekerjaan besar.

Seorang ibu paruh baya, Ibu Motonada, menyambut kami dengan tawa lalu mulai menceritakan sejarah panjang kota ini. Taro berada dekat dengan sebuah teluk di pesisir timur Prefektur Iwate. Sejak dulu masyarakat sekitar memperoleh penghidupan dari laut. Makanan laut yang biasanya harus kita bayar mahal di restoran Jepang seperti uni (bulu babi), awabi, dan wakame serta konbu (rumput laut) bisa mereka peroleh sehari-hari langsung dari laut yang terhampar di halaman rumah.

Namun, sepuluh tahun lalu, dinding laut setinggi sepuluh meter yang sudah melindungi kampung kecil ini puluhan tahun tidak cukup menghadang tsunami yang datang. Keluarga kehilangan kediamannya, keluarga kehilangan penghasilannya, keluarga kehilangan anggotanya.

Pembangunan dinding beton penahan ombak tsunami di kota Taro, Iwate

Sebuah pertanyaan sederhana layaknya muncul di pikiran banyak orang saat mendengar cerita seperti ini. Kenapa masih tetap berada di sini?

Kecintaan terhadap kampung halaman, sebuah jawaban yang begitu jujur dan sederhana. Di atas tanah itu dilahirkan, di atas tanah itu juga tumbuh besar, berkat tanah itu juga mereka bisa selama ini punya penghidupan yang layak. Banyak di antara penduduk Taro yang tidak rela meninggalkan kampung halaman mereka sekalipun ada bahaya yang kapan saja bisa terjadi.

Untuk itu akhirnya kampung ini memutuskan untuk membangun dinding yang lebih tinggi lagi, kali ini dengan tinggi belasan meter. Itulah kenapa ada rentetan alat konstruksi yang terus bekerja, di pinggir kampung. Dinding ini sendiri fungsi utamanya bukanlah mencegah tsunami masuk ke dalam kota, tetapi memperlambat ombak sehingga orang-orang mempunyai waktu yang cukup untuk berevakuasi.

Tur yang kami ikuti dibuka untuk umum dan masyarakat Taro membuka pintu mereka untuk pengunjung dari mana saja untuk mengerti lebih dalam tentang gempa dan tsunami yang terjadi di sana. Tur yang diadakan Ibu Motonoda dan teman-temannya terus mengingatkan bahwa bencana alam akan selalu membayangi, layaknya di berbagai daerah di Indonesia.

Sebagai seorang Indonesia yang tanah airnya sering kali dirundung bencana alam, mengunjungi Tarou dan mendengarkan cerita dari Ibu Motonoda meningatkan juga pentingnya pendidikan tentang keselamatan dan evakuasi yang sejauh pengetahuan saya, tidak diadakan dengan baik di negara kita.

Taro Kanko Hotel

Taro Kanko Hotel
Taro Kanko Hotel

Sebagai bagian dari tur ini, kami juga dibawa mengunjungi Taro Kanko Hotel, yang lantai satu dan duanya masih dalam keadaan yang sama setelah digerus tsunami sepuluh tahun lalu, sedangkan lantai atasnya dijadikan museum kecil. Berhubung hotel lamanya rusak, pemilik hotel ini kemudian membangun hotel baru di sebuah bukit yang menghadap ke teluk, tempat dengan pemandangan luar biasa ke arah Samudera Pasifik.

Taro bisa dikunjungi dengan Iwate Tohoku Bus jurusan Stasiun Morioka - Stasiun Miyako dari gerbang timur Stasiun Morioka, turun di pemberhentian Taro Nakamachi, pembutuhkan waktu 2 jam 15 menit.

Perjalanan lewat Kereta Sanriku

Kereta retro Sanriku Railway
Penampilan luar kereta retro Sanriku Railway

Tujuan berikut untuk kegiatan kami hari ini adalah sebuah kota bernama Kamaishi, masih di Prefektur Iwate. Untuk pergi menuju Kamaishi kami menggunakan kendaraan yang berbeda. Dari Miyako-shi, kami berangkat menuju Kamaishi menggunakan kereta Sanriku.

Sanriku adalah nama lain untuk daerah ini. Sanriku Railway adalah sebuah perusahaan kereta lokal yang menghubungkan kota-kota di pinggir pesisir Prefektur Iwate dari Kuji di utara hingga ke Sakari di selatan. Kereta-kereta yang dimiliki Sanriku Railway sedikit berbeda dengan kereta-kereta lain yang ada di Jepang atau juga Indonesia. Jalur kereta ini punya beberapa model kereta retro layaknya kereta-kereta awal abad sembilan belas di Inggris. Selain itu juga ada kereta bertema Jepang. Untuk informasi lebih lanjut mengenai pass dan tiket yang disediakan Sanriku Railway, cek di website resminya.

Kereta Sanriku juga mengadakan kegiatan tur di mana sepanjang perjalanan seorang pemandu akan menceritakan kondisi daerah-daerah yang dilewati kereta Sanriku sebelum dan setelah gempa dan tsunami tahun 2011. Kegiatan ini khususnya populer di antara siswa-siswi SMP yang datang dari seluruh penjuru Jepang

Interior kereta retro Sanriku Railway

Interior kereta retro Sanriku Railway

Pemandangan alam dari kereta

Perjalanan di atas kereta ini ditemani dengan pemandangan yang luar biasa. Pegunungan, hutan, dan laut terhampar. Sesekali juga kereta akan berhenti di sebuah stasiun kecil di sebuah perkotaan kecil yang masih dibangun.

Bermalam di Penginapan Houraikan di Kamaishi

Makan malam di Houraikan Hotel

Setelah melewati kegiatan satu hari, kemi menginap di Houraikan, sebuah ryokan (penginapan tradisional) sederhana milik Ibu Iwasaki, seorang penduduk setempat. Di depan bangunan hotel berbaris pohon pinus, dan di baliknya pantai terbentang.

Kamar-kamar di Houraikan berupa kamar Jepang tradisional. Dengan lantai tatami dan kasur futon, perabotan seluruhnya ala Jepang. Tentunya bukan hotel Jepang kalau tidak ada onsen (tempat mandi air panas), Hotel ini bahkan menyediakan jenis kamar dengan onsen pribadi di teras kamar.

Sebagai hotel yang bersebelahan dengan laut, makan malam tradisional full course yang disediakan hotel ini penuh dengan berbagai menu seafood dari mulai kerang, ikan, hingga sashimi.

Malam di hotel ini juga diisi dengan mendengarkan cerita Ibu Iwasaki, , yang sendirinya dulu berselisih dengan ombak tsunami sepuluh tahun yang lalu. Ibu Iwasaki, bisa disebut adalah salah satu tonggak komunitasnya. Hotel berlantai empatnya diubah menjadi tempat evakuasi setelah tsunami menerjang. Dengan penuh semangat beliau bercerita tentang bagaimana masyarakat sekitar saling membantu di masa-masa itu. Usai bencana sepuluh tahun lalu, beliau membantu ibu-ibu di daerah sekitar memperoleh pendapatan tambahan dengan menjual gelang yang dibuat dari jaring yang terdampar akibat tsunami.

Terhadap pertanyaan kenapa beliau tetap setia berada di tempat yang sama mendirikan hotelnya sekalipun sempat hampir kehilangan nyawanya sendiri, jawaban beliau sama dengan jawaban Ibu Motonoda. Ada kecintaan yang luar biasa terhadap tempat beliau dilahirkan. Lebih jauh beliau mengungkapkan bagaimana sampai saat ini, beliau tidak hidup karena diri sendiri tetapi berkat orang-orang yang berada di tempat itu, saling berbagi dan membantu.

Informasi

  • Nama hotel: Houraikan Hotel
  • Alamat: 20, 93-1, Onosumai-cho, Kamaishi-shi, Iwate-ken
  • Akses: Untuk mengunjungi hotel ini, dari Tokyo gunakan shinkansen Tohoku-Hokkaido hingga Stasiun Shin-Hanamaki. Dari Stasiun Shin-Hanamaki, Kamaishi bisa dicapai dengan kereta JR Kamaishi Line. Hotel ini menyediakan jasa penjemputan gratis dari Stasiun Kamaishi, selama tidak lupa menghubungi terlebih dahulu.

Artikel Terkait:

Daftar Isi

Recommend